SAUJANA

Ditengah keheningan malam aku terjaga dari tidurku yang tiada pernah nyenyak. Kulangkahkan kaki menuju tepian jendela yang berhiaskan jeruji besi. Dari balik jendela aku lihat purnama dengan paras cerianya nan anggun. Sang purnama seakan tersenyum sinis dan genit padaku seakan menambah remuk jiwaku yang sekian waktu terkoyak. Seringkali aku bertanya pada diriku sendiri mengapa aku harus berada di sini, di wisma rehabilitasi, di balik jeruji besi, di balik tembok yang menjulang tinggi dan angkuh.

Sejenak aku teringat beberapa waktu silam yang telah aku jalani. Tujuh purnama yang telah lampau sebelum aku berada di sini. Aku telah melakukan hal yang nista dan berlumuran dosa. Malam itu lima orang aparat menyergapku dan teman-teman ketika kami sedang asyik bercengkrama dengan benda-benda neraka yang menurut orang bisa membuat hidup kami kelabu. Memang itulah yang menjadi kebanggaan kami waktu itu, selalu bercumbu dengan bayang-bayang yang semu, maya dan niskala.

Hari demi hari aku lalui dengan kenikmatan menurutku, tapi kenistaan bagi orang lain. Kenikmatan sesaat terus merengkuh dan memagut jiwaku seakan tiada mau berpaling dariku, terus menjerat dan mencekik jiwaku. Aku terus tertidur dalam buaian racun-racun manis yang tiada pernah bisa aku lepaskan. Apa yang aku lakukan sangat berbeda dengan apa yang dilakukan mereka yang seusiaku. Sementara aku asyik bergaul dengan benda-benda iblis, mereka melakukan apa yang terbaik bagi mereka, bagi nusa, bangsa dan agama yang menjadi kebanggaan mereka.

Telah sirnalah dalam jiwaku apa yang telah diwejangkan dan dituntunkan oleh Bundaku, Ayahku, Pak Lik Narji, Bu De Darmi, Pak Umar Bejo guruku yang sering menjewerku ataupun Pak Ustad Sanusi guru ngajiku dulu, “Nak lakukanlah apa yang terbaik bagi dirimu selagi bunga masih kuncup, sebelum ayam jantan berkokok esok hari ataupun sebelum mentari terbangun dari lelapnya”, begitu bundaku tiap kali bertutur.

Terlintaslah sejenak dalam memoriku apa yang pernah aku lakukan semasa kecil. Tiap senja aku rajin pergi ke surau untuk sholat, mengaji ataupun sekedar duduk-duduk sambil mendengarkan cerita keteladanan para rasul dari pak ustad. Apabila malam telah menjelang kamipun pulang sambil ditemani oleh kunang-kunang yang menyala terang seakan ikut menemani candaku dengan sahabat-sahabat kecilku. Namun sekarang apa yang terjadi, sirnahlah sudah. Semua karena ulahku yang telah terhanyut dan tergilas oleh putaran roda masa.

Kini tiada pernah lagi aku sua sahabat-sahabat kecilku terbaik yang pernah aku kenal, yang bercengkrama denganku waktu itu. Sekarang yang aku dengan adalah kabar tentang keberhasilan mereka. Si gendut Yono kini sudah jadi eksekutif muda, Tarjo kini sudah jadi direktur utama pabrik genteng, Siti sudah jadi TKW sukses di negeri Jiran, Parmiatun sudah menjadi bintang sinetron dan model iklan sabun mandi ternama dengan nama populer Mia, ataupun Nardi sudah menjadi kepala desa sesuai dengan impiannya semasa kecil.

Malam demi malam terus aku lalui dengan jiwa hampa dan bayangan yang tiada pernah dapat aku sentuh. Setiap malam yang aku dengar adalah suara jangkrik seolah ikut memperdayai jiwaku yang telah terkoyak dan rapuh, ataupun suara katak saling bersahutan yang hidup di sekitar parit tempatku berada juga ikut mentertawakanku semakin menambah kencang jeritan batinku.

Dari balik jeruji besi sayup-sayup aku mendengar alunan lagu seolah seirama dengan nada hidupku, “andai aku bisa memutar kembali waktu yang tlah berjalan …………”. Ya, seandainya aku bisa menghentikan cepatnya laju roda masa dan memutarnya sesuai dengan kehendakku, Aku akan melakukan yang terbaik bagi orang-orang yang ada di sekitarku, bagi siapa saja yang membutuhkanku laksana sang surya yang tiada pernah lelah berpijar menyinari bumi dan makhluk-Nya. Aku akan turuti nasihat bundaku, ayahku, pak lik Narji, bu dhe Darmi, pak guru Umar Bejo dan pak ustad Sanusi guru ngajiku. Aku akan senantiasa pergi ke surau, ke sekolah yang selama ini aku lalaikan.

Namun apa yang kau temui, sang waktu sudah enggan menyapa diriku, dia seolah ingin berpaling dariku dan terbang dengan sayap-sayap keangkuhannya sukar untuk kurengkuh dan kudekap lagi. Kini, aku hanya bisa meratap dan menangis, tapi aku tiada pernah tahu apa yang harus kuratapi dan kutangisi.

Jaring-jaring masa terus menjerat dan membelenggu diriku. Sejenak aku tersentak oleh pertanyaan yang mungkin sengaja mengahampiri dan menyapaku. Apakah hari esok mau bersua dan sudi mengulurkan tangannya yang lembut untukku ?. Apakah dalam perjalanan hidup setiap insan tiada pernah ternoda oleh noktah dosa ?. Apakah tiada kesempatan bagiku untuk menatap mentari esok hari yang cerah ?.

Keyakinan demi keyakinan terus tumbuh dan berbenih dalam ladang jiwaku. Harapan demi harapan mulai tertancap dalam relung kalbuku semakin memberi selaksa asa bagi anganku dan memperkokoh jiwaku yang telah rapuh. Kucoba untuk memunguti kembali serpihan jiwa yang telah berhamburan terhempas oleh hembusan angin kehidupan. Batinku berbisik, tiada hal yang terlambat selagi sukma masih memagut raga, better late than never.

Aku berusaha menenun dan menyulam benang anganku yang sekian lama kusut, robek dan terkoyak oleh duri-duri kehidupan ataupun yang telah terkotori oleh debu-debu jalanan meskipun harus kulalui jalan terjal berliku serta berlubang. Di tasik kearifan-Nya aku mencoba bersimpuh memohon ampun atas segala kelancanganku yang selalu bermandikan dosa disetiap jejak langkahku. Ya sahabat, biarkanlah aku adalah diriku sendiri yang nista dan nestapa.

(percik nurani untuk anak bangsa)

Lembah Delta , 2007 (revisi)

Created by

SYAM